Kali ini kita pelajari lagi Sirah Nabawiyyah mengenai wahyu terhenti sementara waktu.
Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu pertama, kemudian wahyu terhenti selama enam bulan atau lebih. Hal itu mengandung mukjizat ilahi yang mengagumkan. Hal ini merupakan sanggahan yang paling tepat terhadap para orientalis yang menganggap wahyu sebagai produk perenungan panjang yang bersumber dari dalam diri Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sesuai kehendak ilahi, malaikat yang dilihatnya kali pertama di gua Hira itu tidak muncul sekian lama sehingga menimbulkan kecemasan di hati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Selanjutnya, kecemasan itu berubah menjadi rasa takut terhadap dirinya karena khawatir dimurkai oleh Allah—setelah dimuliakan-Nya dengan wahyu—lantaran suatu tindakan yang dilakukannya sehingga dunia yang luas ini terasa sempit bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan terbetik rasa ingin menjatuhkan diri dari atas gunung. Sampai akhirnya pada suatu hari, malaikat yang dilihatnya di gua Hira itu muncul kembali, terlihat di antara langit dan bumi seraya berkata, “Wahai Muhammad, engkau adalah utusan Allah kepada manusia.” Dengan rasa takut dan cemas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sekali lagi ke rumah, di mana diturunkanlah firman Allah,
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2)
“Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan!” (QS. Al-Mudatstsir: 1-2) (Fiqh As-Sirah An-Nabawiyyah, hlm. 65-66)
Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan bahwa surat pertama yang turun setelah masa kosongnya wahyu (fatroh) adalah surat Al-Mudatstsir.
Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketika masa kosong turunnya wahyu, aku berjalan sambil mendengar suara dari langit. Aku angkat pandanganku ke langit. Kemudian malaikat yang mendatangiku saat wahyu pertama dahulu duduk pada kursi di antara langit dan bumi, lalu aku tunduk merunduk, jatuh ke tanah. Ketika itu aku mendatangi keluargaku, lalu menyuruh mereka menyelimutiku. Sambil kukatakan, ‘Selimuti aku, selimuti aku.’ Lantas turunlah firman Allah,
يَا أَيُّهَا الْمُدَّثِّرُ (1) قُمْ فَأَنْذِرْ (2) وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ (3) وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ (4) وَالرُّجْزَ فَاهْجُرْ (5)
‘Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Rabbmu agungkanlah! dan pakaianmu bersihkanlah, dan perbuatan dosa tinggalkanlah.’ (QS. Al-Mudatstsir: 1-5). Kemudian setelah itu wahyu turun berturut-turut. (HR. Bukhari, no. 4 dan Muslim, no. 161)
Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri menganggap bahwa masa kosongnya wahyu cuma beberapa hari saja, bukan seperti pendapat yang lainnya hingga tiga atau dua setengah tahun.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya mengasingkan diri ke gua Hira pada bulan Ramadhan sebelum masa kenabian. Di gua Hira itu, beliau berada selama sebulan dan itu berlangsung selama tiga tahun. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berarti keluar dari gua Hira pada bulan Syawal. Padahal wahyu pertama turun sebagaimana telah dibahas sebelumnya pada malam Senin dari malam ke-21 Ramadhan. Berarti masa kosongnya wahyu hanya sekitar sepuluh hari saja. Wahyu berikutnya turun pada pagi hari Kamis pada awal Syawal, tahun pertama dari nubuwah (setelah diangkat jadi nabi). Inilah yang jadi rahasia mengenai dikhususkannya sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk menyendiri dengan i’tikaf dan awal Syawal dikhususkan untuk ‘ied umat Islam. Wallahu a’lam. (Ar-Rahiq Al-Makhtum, hlm. 88-89)
Catatan Mengenai I’tikaf
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid untuk beribadah kepada Allah dilakukan oleh orang yang khusus dengan tata cara yang khusus. (Lihat Ahkam Al-I’tikaf, hlm. 27 dan Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 5:206)
Ibnul Qayyim rahimahullah telah menjelaskan maksud i’tikaf dalam kitab Zaad Al-Ma’ad (2:82-83), “Maksud i’tikaf adalah mengkonsentrasikan hati supaya beribadah penuh pada Allah. I’tikaf berarti seseorang menyendiri dengan Allah dan memutuskan dari berbagai macam kesibukan dengan makhluk. Yang beri’tikaf hanya berkonsentrasi beribadah pada Allah saja. Dengan hati yang berkonsentrasi seperti ini, ketergantungan hatinya pada makhluk akan berganti pada Allah. Rasa cinta dan harapnya akan beralih pada Allah. Ini tentu saja maksud besar dari ibadah mulia ini. Jika maksud i’tikaf memang demikian, maka berarti i’tikaf semakin sempurna jika dilakukan dengan ibadah puasa. Dan memang lebih afdhol dilakukan di hari-hari puasa.”
Mengenai masalah i’tikaf disebutkan dalam ayat,
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“(Tetapi) janganlah kamu campuri mereka sedang kamu beri’tikaf dalam masjid.” (QS. Al-Baqarah: 187).
Ayat di atas menerangkan bahwa saat i’tikaf tidak boleh seseorang keluar dari masjid lalu menemui istrinya untuk berhubungan intim kemudian kembali lagi ke masjid. Allah melarang seperti itu. Ini semua ingin menunjukkan di antaranya hikmahnya i’tikaf adalah untuk bisa berkonsentrasi dalam ibadah.
Di antara hikmah ibadah i’tikaf adalah:
1- Hati lebih berkonsentrasi dan bersendirian dalam ibadah pada Allah.
2- Memutuskan diri dari berinteraksi dengan lainnya dan hanya menyibukkan diri dengan Allah.
3- Mudah untuk konsentrasi dalam dzikir.
4- Tafakkur (merenungkan diri).
5- Muhasabah (introspeksi diri).
6- Mudah untuk memanjatkan doa.
7- Lebih memperbanyak ibadah.
Sedangkan hikmah terbesar dari i’tikaf–sebagaimana kata Ibnul Qayyim–adalah untuk membuat seseorang makin cinta pada Allah sebagai ganti kecintaannya pada makhluk. Lihat Zaad Al-Ma’ad, 2:86-87.
Mengenai i’tikaf yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dalam hadits ‘Aisyah berikut ini, di mana beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, hingga Allah mewafatkan beliau. Kemudian istri-istri beliau melakukan i’tikaf setelah beliau wafat.” (HR. Bukhari, no. 2026; Muslim, no. 1172).
Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa melakukan i’tikaf di bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun di tahun beliau diwafatkan, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari.” (HR. Bukhari, no. 2044).
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata, “Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beri’tikaf di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan untuk meraih lailatul qadar. Beliau ingin mengasingkan diri dari berbagai kesibukan dengan melakukan i’tikaf. Dengan menyendiri akan lebih berkonsentrasi dalam dzikir dan do’a. Dan beliau pun benar-benar menjauh dari manusia kala itu.” Lihat Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 338.
Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Referensi:
- Ahkam Al-I’tikaf. Cetakan pertama, Tahun 1430 H. Syaikh Prof. Dr. Khalid bin ‘Ali Al-Musyaiqih. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd;
- Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Wizaroh Al-Awqof wa Asy-Syu’un Al-Islamiyyah (Kementrian Agama Kuwait);
- Fiqh As-Sirah An-Nabawiyyah ma’a Mujaz li Tarikh Al-Khilafah Ar-Rasyidah. Cetakan kedua puluh empat, Tahun 1436 H. Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy. Penerbit Dar As-Salam;
- Lathaif Al-Ma’arif fii Maa Limawasim Al-‘Aam min Al-Wazhoif. Cetakan pertama tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al-Maktab Al-Islami;
- Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim li Al-Imam Ibnu Katsir. Ibnu Katsir. Tahqiq: Prof. Dr. Hikmat Basyir bin Yasin. Penerbit Dar Ibnul Jauzi;
- Zaad Al-Ma’ad fii Hadyi Khair Al-‘Ibad. Cetakan keempat, tahun 1425 H. Ibnul Qayyim Al-Jauziyah. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
—
Artikel Kajian Masjid Al-Azhar Karangrejek Wonosari Gunungkidul, 26 Sya’ban 1439 H, 11 Mei 2018
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com